![]() |
dokumen pribadi |
“Saya menulis ibarat bermain layang-layang, tak perlu ahli cuaca untuk menerbangkan layang-layang namun harus tahu kemana angin berhembus.” Itulah yang terlontar dari wartawan lepas yang mengkritisi budaya tanah kelahirannya ini.
Berawal dari sebuah hobi
Gde Aryantha Soetama adalah seorang wartawan lepas yang kerap mengangkat masalah kebudayaan Bali dalam tulisannya. Sosok bapak dari berusia setengah abad lebih ini mengawali profesinya sebagai wartawan dari hobi masa kecilnya. Aryantha lahir di kota kecil Klungkung, 40 km timur Denpasar, pada 15 Juli 1955. Tulisan pertamanya dimuat di majalah Selecta, dalam rubrik "Apakah Anda berbakat Jadi Wartawan?" tahun 1970, ketika berusia lima belas tahun. Kelekatan dan kepekaannya akan tanah kelahirannya menghasilkan empat buku kumpulan esei-nya hampir semua bercerita tentang Bali. Isinya kebanyakan kritik tentang Bali, tentang kehidupan adat dan agama,
Keempat buku ini bercerita tentang tanah kelahirannya.
Empat buku kumpulan esei-nya hampir semua bercerita tentang Bali. Isinya kebanyakan kritik tentang Bali, tentang kehidupan adat dan agama, yang pernah dimuat di koran-koran Bali. Judul buku-buku itu Basa-basi Bali (2002), Bali is Bali (2003), Bali Tikam Bali (2004) dan Bolak Balik Bali (2006). Buku lain, Menjadi Wartawan Desa (1985), Wawancara Jurnalistik (1982), Koran Kampus (1983). Berbagai penghargaan telah diraihnya, di antaranya juara pertama lomba penulisan novel yang diselenggarakan oleh harian Bali Post (judul novel itu Senja di Candidasa).
Bukan semangat tapi mengikis budaya.
Terkait dengan multikultur di Bali, Aryantha ternyata memiliki pandangan yang berbeda. Ketika sebagian besar masyarakat mengagung-agungkan dampak positif multikultur yang terjadi di bali, tak demikian dengan Aryantha. “Multikultur itu kan istilah baru, saya saja baru dengar itu 3 tahun belakangan. Yang menjadi asumsi dari tema yang anda sampaikan tadi kan multikultur itu berdampak positif namun pada realita di masyarakat kini bali semakin terjepit, multikultur tak hanya membawa dampak positif saya kira, Selain berdampak dalam aspek sosial multikultur ini berdampak juga dalam segala aspek kehidupan masyarakat bali, ” ungkapnya lugas.
“Multikultur itu banyak contohnya. Kita sekarang ini hidup di tengah multikultur. Contohnya ada HP, sepeda motor dan masih banyak lagi pengaruh globalisasi menyebabkan terjadinya multikultur, ” paparnya mengenai pengaruh multikultur terhadap budaya.
1 komentar:
kayaknya udah ngefans nih ama nih bapak..haha
btw, tulisan yg sekarang rapi dari segi penampakan. (:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak kaki disini