Artikel ini pernah aku beritakan di tabloid Persakademika , Universitas Udayana, BALI.
“MANAK SALAH” yang SALAH
Bali merupakan daerah yang memiliki ragam budaya. Hingga zaman yang sudah modern seperti sekarang ini, beberapa tradisi yang dianggap sakral masih tetap ‘ajeg’ dilestarikan.hal ini kerap menjadikan kesan bahwa masyarakat bali itu begitu kaku dan diskriminatif.
Beberapa tahun yang lalu seorang wanita di kecamatan sukasada, buleleng , melahirkan sepasang bayi kembar yang tidak identik alias berbeda jenis kelamin. Salah satu dari si kembar tersebut adalah laki-laki dan satu lagi adalah perempuan. Di Bali kembar yang demikian disebut “manak salah” atau anak yang lahir tidak biasa. “sebenarnya yang disebut manak salah jika pada saat kelahiran yang lahir duluan adalah yang perempuan, sedangkan jika laki yang duluan itu disebut buncing,” tutur I Gst Ngr Sudiana selaku ketua PHDI Bali mengawali ceritanya ketika ditanya mengenai apa sebenarnya yang disebut manak salah oleh masyarakat Bali. Sesuai dengan aturan adat yang berlaku tersebut orangtua si kembar buncing tersebut akan terisolasi selama 3 tilem (3 bulan) di muara desa atau dekat setra desa pekraman setempat. Istilah manak salah ini termuat dalam lontar dewa tatwa dan brahma tatwa yang menyebutkan bahwa manusia yang lahir dengan ketidakwajaran dianggap sebagai “manak salah”, salah satunya disebutkan adalah kelahiran buncing. Selain itu dalam dewa tatwa juga disebutkan jika terjadi kelahiran buncing maka seluruh parahyangan atau pura akan cemer karena ida Betara yang berstana di tempat tersebut di katakan mur atau pergi. Karena ida berata yang berstana di prahyangan tersebut telah mur maka cuntakalah desa pekraman tersebut. Selama 3 tilem di lingkungan desa adat tersebutdilarang mengadakan upacara yadnya. Namun pengecualian bagi upacara kematian. Saat ini menurut penuturan ketua PHDI provinsi Bali masih ada beberapa desa adat di Bali yang masih menerapkan tradisi tersebut. Salah satunya adalah di desa padangbulia, buleleng. “sejauh ini di bali masih ada yang tetap melakukan tradisi itu, itu kan kepercayaan mereka saja. Sebenarnya tradisi tersebut sudah di hapus tahun 1951,”ungkap sudiana . lagi menurut sudiana tradisi tersebut berlaku pada zaman kerajaan gelgel. Selanjutnya pada tahun 1951 tradisi tersebut telah resmi dihapuskan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila dan kemanusiaan.
Tradisi tetap tradisi, mungkin itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi desa adat padangbulia yang kini tetap kekeuh mempertahankan tradisi “manak salah” ini. menurut penuturan Bendesa adat setempat tradisi ini telah dilakukan sejak zaman kerajaan, dimana jika seorang raja yang mempunyai anak buncing maka akan di agung-agungkan sedangkan jika rakyat biasa yang melahirkan buncing maka akan mendapat sanksi adat berupa pengasingan karena telah dianggap melangkahi seorang raja. “kalau diantara krama desa padangbulia ada yang melahirkan kembar buncing begitu istilahnya maka orangtua dan bayinya mempunyai hak dan kewajiban sebagai penyucian,” begitu tutur Gusti Nyoman Bisana sambil membaca lontar ditangannya. Kewajiban yang dimaksudkan adalah kedua orangtua si kembar beserta si kembar wajib melaksanakan tapa brata untuk melebur leteh selama 3 tilem dan setelah 3 tilem wajib mengadakan upacara penyucian ke segara. Sedangkan hak yang didapatkan adalah berhak mendapat bantuan dari desa adat. Bantuan tersebut adalah berupa sandang,pangan, papan. “Seluruh kebutuhan orangtua dan si kembar buncing akan ditanggung oleh krama desa adat.termasuk kesehatan, makan, pondok yang layak huni,air bersih, biaya upacara anak dan orangtua sekaligus upacara di desa kelahirannya dan di pura keluarga atau sanggah juga ditanggung oleh kami,” paparnya sambil sesekali melihat beberapa arsip tentang manak salah ini.
Jika menelisik lebih jauh lagi secara biologis kelahiran bayi kembar bukanlah hal yang aneh. Melainnkan sebuah anugerah yang lebih yang di berikan oleh-NYA. Ini hanyalah soal kepercayaan dan adat yang telah terlanjur berkembang di masyarakat yang menyebabkan tradisi ini masih tetap berlangsung. Padahal jika di tinjau dari segi kemanusiaan tradisi ini seharusnya sudah tidak di terapkan lagi. Menurut ketua PHDI Bali tradisi ini sudah tidak layak lagi di terapkan di zaman yang sudah serba canggih ini. “sudah gak zaman lagi pengasingan itu sekarang, kita yang punya anak kok dibilang ngeletehin,jadi tradisi itu sudah gak perlu di lanjutkan lagi.” ungkap sudiana di sela kesibukannya siang itu. Menurutnya dari pihak PHDI telah mengadakan sosialisasi ke pihak desa adat mengenai peraturan DPR/GR/th.1951 tentang penghapusan tradisi tersebut. “upaya yang kita lakukan dari pihak PHDI hanya sebatas sosialisasi selanjutnya pendekatan filosofi bahwa manusia dilahirkan tidaklah salah,” jelasnya singkat. Biarpun dari pihak PHDI telah memberikan sosialisasi mengenai keputusan dari pemerintah tersebut desa padangbulia tetap kekeuh dengan tradisi ini. menurut penuturan dari bendesa adat setempat bagi krama yang tidak mau mengikuti tradisi tersebut akan mendapat gangguan niskala . berlandaskan alasan tersebutlah desa masih menerapkan tradisi ini. selain itu menurutnya pengasingan itu bukanlah hukuman , melainkan cara krama setempat untuk melestarikan sifat tolong menolong dan saling membantu, tetapi hal itu sering di salah artikan oleh orang kebanyakan karena di anggap melanggar kaidah-kaidah kemanusiaan. “sebenarnya itu bukan hukuman, tetapi tolong menolong, tempat pengasingannya juga layak huni tidak dibuang begitu saja seperti kata orang-orang. Sekalipun ada perda tradisi ini tetap kami lestarikan karena kami meyakini ada sangsi dari alam niskala..” ungkapnya jelas menutup percakapan siang itu. Persoalannya kini jelas, manak salah yang lumrah dimasyarakat merupakan seebuah dilema karena dapat dipandang dari berbagai aspek. Jika secara alam sekala manak salah tidak berdampak apapun karena itu wajar-wajar saja terjadi tetapi jika kita tinjau lebih dalam lagi dari sisi niskalanya tradisi ini akan sulit ditinggalkan. Sebenarnya permasalahan mengenai keyakinan dari sisi niskala dapat dinetralisir dengan diadakannya upacara penyucian jagat yang memang harus dilaksanakan oleh desa pekraman yang telah dianggap cuntaka karena terjadi kelahiran manak salah.
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak kaki disini