Recent Posts

Kamis, 25 Oktober 2012

Lawar, Makanan Yang Wajib Dicicipi Tiap Pergi Ke Bali


Lawar 
Lawar  nggak bisa dipisahkan dengan orang Bali. Makanan  unik ini sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat Hindu di Bali. Di samping sebagai lauk pauk, lawar menjadi salah satu sarana dalam melaksanakan upacara adat maupun keagamaan di Bali seperti upacara pernikahan, kematian dan upacara di Pura – Pura.


Biasanya lawar berbahan dasar daging babi. Namun sekarang sudah mudah ditemui lawar dengan bahan dasar daging ayam ataupun sapi. Campuran lainnya yang ada  pada lawar adalah sayuran yang dicincang. Sayur yang biasa digunakan  seperti sayur nangka, kacang panjang, atau kelapa muda. 

Jenis-jenis lawar biasanya didasarkan pada daging yang digunakan sebagai bahan dasarnya. Lawar sapi, yaitu lawar yang menggunakan daging sapi. Lawar babi, lawar dari daging babi), demikian juga yang lainnya. Selain itu lawar juga kadang – kadang diberi nama sesuai sayur yang digunakan. Seperti lawar nangka yang berupa lawar berbahan dasar buah nangka muda.

Kita juga bisa membedakan lawar berdasarkan warnanya. Ada Lawar Barak (lawar merah) dan lawar putih. Dalam hal ini bedanya karena penggunaan darah segar pada lawar sehingga warnanya berubah menjadi merah.

Cara membuat lawar sudah diwariskan secara turun temurun. Berikut adalah cara membuat lawar sesuai tradisi yang umum dilakukan :
  1. Daging dicuci terlebih dahulu. Kemudian daging dicincang sampai halus, setelah itu baru seduh atau rebus dalam air mendidih selama 15 menit.
  2. Kulit hewan yang dagingnya digunakan, dihilangkan bulunya kemudian direbus sampai matang dan dipotong kecil-kecil. (Untuk lawar yang menggunakan kacang panjang, kacang panjang dicuci dulu lalu direbus sampai matang terus didinginkan. Setelah dingin barulah dicincang).
  3. Daging kelapa yang menjadi bahan pembuat lawar untuk penambah rasa gurih dipanggang di atas bara api, lalu diparut. Bahan-bahan ini kemudian dicampur merata menjadi satu dalam wadah baskom atau pane. Kalau pengen bikin lawar merah, tinggal tambahkan darah segar secukupnya lalu aduk sampai semua bahan berwarna merah.
  4. Terakhir tambahkan bumbu lengkap Bali, garam, jeruk nipis atau potongan daun jeruk yang telah dirajang ke dalam campuran itu. Jika semuanya sudah ditambahkan, aduk lagi. Biasanya mengaduknya menggunakan tangan. Konon kalau mengaduknya memakai sendok, rasanya kurang nendang!
Setelah semua proses diatas selesai, lawar sudah siap disantap. Lengkap dengan nasi hangat, tum, dan komoh. Rasa daging cincangnya yang sedap lalu dilanjutkan sayuran cincang yang krenyes-krenyes dan semua itu diikat oleh bumbu khas Bali yang dirajang, sedap sekali! Tambahan parutan kelapa yang dibakar menambah gurihnya santapan khas hari raya Galungan ini.

Bagi masyarakat Hindu di Bali, makan lawar nggak hanya sebagai penghilang rasa lapar atau untuk memenuhi kebutuhan perut yang kosong. Tetapi juga berfungsi sosial. Misalnya sebagai alat komunikasi karena sambil ngelawar (istilah ‘membuat lawar’ dalam bahasa Bali) masyarakat bisa bercengkaram dengan sanak saudara dan tetangga. Fungsi lain dari lawar adalah faktor religius, dan menunjukkan identitas budaya. Lawar wajib ada dalam segala jenis upacara Hindu di Bali dan mampu menjadi ciri khas budaya Nusantara pada umumnya, dan Bali pada khusunya.

Selain sebagai pemersatu dalam sebuah acara adat, lawar juga baik buat kesehatan. Dilihat dari bahan penyusunnya yang sebagian besar seperti daging, sayur, kelapa dan darah, lawar mempunyai kandungan gizi yang tinggi. Daging merupakan sumber protein hewani. Sedangkan sayuran yang dipakai seperti kacang panjang adalah sumber protein nabati, vitamin, dan mineral. Zat gizi seperti karbohidrat, protein dan lemak berfungsi memperlancar proses fisiologis dalam tubuh karena zat gizi tersebut sebagai sumber energi. Selain itu, penggunaan bumbu tradisional dan rempah-rempah juga menjadikan lawar kaya manfaat bagi orang yang mengkonsumsinya.

Menurut penelitian yang pernah dilakukan Yusa (1996) terhadap lawar sapi, diketahui bahwa kandungan protein dalam satu porsi lawar  berkisar antara 8,48 – 11,14 %, lemak 17,98 – 18,54 % dan karbohidrat 3,94 – 6,61 % dengan kandungan air lawar yang cukup tinggi yaitu sekitar 65,21 – 65,63 %. Disamping mengandung zat gizi utama seperti tersebut di atas lawar juga mengandung vitamin B1, vitamin B2, vitamin C dan mineral kalsium (Ca), besi (Fe) dan fosfor (P). Setelah dilakukan perhitungan lebih lanjut untuk setiap 50 g lawar (jumlah lawar yang dikonsumsi setiap hari), nilai energi lawar putih sebesar 114 kkal dan energi lawar merah sebesar 111 kkal. Ditinjau dari sumbangan energinya maka lawar dapat menyumbangkan sebesar 3,5 % dari konsumsi energi wanita setiap hari (konsumsi energi wanita setiap hari 2714 kkal).

Bumbu yang digunakan pada pembuatan lawar antara lain bawang putih, bawang merah, cabai, lengkuas, jahe, kunir, lada dan lainnya mengandung senyawa-senyawa non-gizi, seperti minyak atsiri, antioksidan dan anti mikroba yang berfungsi meningkatkan citarasa lawar, mencegah proses oksidasi dan menghambat atau membunuh mikroba.

Pokoknya, selain enak dilidah, lawar juga baik untuk kesehatan, Jadi kalau berkunjung ke Bali, kudu wajib nyicipin makan khas Bali yang bernama Lawar ini. Catet ya! ;)

Kamis, 18 Oktober 2012

Episode: Ikan Dalam Kulkas Jangan Sampai Busuk

PLN selama ini selalu mendapat teriakan-teriakan keras dari masyarakat, terutama soal krisis listrik. Persoalan krisis listrik terjadi hampir di seluruh pelosok negeri ini. Bahkan di beberapa daerah krisisnya sangat luar biasa. Tak hanya daerah terpencil, penyediaan listrik di daerah yang sudah maju seperti Bali pun tak merata mendapatkan listrik. Sebagai contoh di daerah Kintamani Barat, lokasi saya melaksanakan kuliah kerja nyata. Jarak antar rumah penduduk yang cukup jauh dan berada di pelosok hutan membuat instalasi listrik sulit dibangun. Pilihannya serba simalakama. Dilayani dengan jaringan kecil, tegangan listriknya rendah. Dilayani dengan transmisi besar, biayanya akan bertriliun-triliun.

Menurut Dahlan Iskan dalam catatannya, di pedalaman Papua lebih parah lagi. Sampai saat ini masih ada beberapa ibukota kabupaten listrik hanya menyala enam jam dalam sehari. Daerah-daerah yang mengalami krisis listrik tersebut umumnya memang kabupaten hasil pemekaran yang dulu statusnya hanya kecamatan. Misalnya daerah Maluku Barat Daya dan Buru Selatan. Ada kurang lebih 8 ibukota kabupaten yang listriknya belum 24 jam sehari. Bahkan di Jayapura masih ada 11 kabupaten yang belum ada listriknya! 

Penyediaan listrik yang merata di seluruh pelosok negeri ini memang menjadi PR besar bagi PLN. Di daerah Wamena contohnya. Di sana ada sumber listrik tenaga air yang gratis, tapi PLN malah menyediakan listrik diesel yang harus mendatangkan BBM. Bisa dibayangkan setiap harinya harus ada pesawat yang mengangkut BBM yang sangat banyak untuk pembangkit listrik. Demikian juga di daerah Kalimantan. Di daerah penghasil batubara yang luar biasa itu PLN justru punya diesel dengan kapasitas lebih 100 MW. Padahal membangkitkan listrik dengan diesel, di Banjarmasin, harganya empat kali lipat!

Untuk urusan pembangkit listrik harusnya PLN mengalihkan dana untuk penyediaan BBM mesin diesel ke potensi-potensi daerah untuk sumber pembangkit listrik. Dengan menggunakan potensi alam sebagai pembangkit listrik maka penggunaan BBM, MFO, dan lainnya dapat dikurangi. Itu harapan saya yang pertama untuk PLN.

Dengan meminimalkan penggunaan BBM, maka PLN akan turut memberikan sumbangsih untuk menjaga kualitas lingkungan hidup. Selain pemberantasan krisis listrik yang tengah gencar dilakukan, PLN juga sebaiknya mempertimbangkan kenaikan tarif dasar listrik. Jangan sampai rakyat bisa mendapat listrik namun tidak mampu membayar listrik per bulannya (meski saat ini sudah ada solusi listrik pintar dari PLN, tapi akan lebih baik jika lebih ditingkatkan lagi). Harapan terakhir saya untuk PLN adalah listrik jangan sering mati. Kalau pun mati, jangan lama-lama. Listrik memang tidak mungkin tidak mati. Masyarakat kita paham soal itu. Yang penting jangan sering-sering mati. Sebelum ikan di dalam kulkas menjadi busuk.

Selasa, 31 Juli 2012

Episode: Relawan Pendidikan Di Desa Catur


Sore itu Kadek Wangi mengetok pintu posko Kuliah Kerja Nyata (KKN) kami di Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Semangat belajar Kadek begitu tinggi.Tak hanya Kadek Wangi yang sore itu belajar kelompok. Ada 13 kelompok lainnya yang akan kami dampingi.

Program saya dan rekan-rekan dari Universitas Udayana dalam Kuliah Kerja Nyata di Salah satu desa di provinsi Bali ini adalah sebagai relawan pendidikan.

Menjadi relawan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Catur menjadi rutinitas saya dan rekan-rekan. Setiap harinya pada pukul empat sore murid-murid kelas lima  dan kelas enam  menunggu di sekolah sampai saya dan rekan KKN datang. Jika kami datang terlambat maka beberapa dari anak-anak tersebut akan menjemput ke posko tempat kami tinggal selama KKN berlangsung.

Sore itu saya mendapat giliran mengajar di kelas VI. Terdiri dari 31 siswa yang dibagi menjadi delapan kelompok. Begitu saya dan rekan-rekan masuk kelas, mereka sudah duduk rapi sesuai kelompok. Saya dapat giliran menemani dua kelompok yang terdiri dari tujuh orang siswa. Kadek Wangi salah satunya. Sore ini mereka mengerjakan tugas IPA tentang pertumbuhan manusia. Tugas yang harus mereka kerjakan adalah membuat artikel tentang pertumbuhan manusia sejak lahir sampai tua. Ada banyak hal yang kami bahas termasuk pengertian menstruasi dan mimpi basah. Kebetulan kelompok yang saya dampingi perempuan semua.

Saat menjelaskan mimpi basah, mereka pun antusias bertanya soal mimpi basah. Pertanyaannya mulai dari "Kak, mimpi basah itu bisa terjadi setiap bulan ya?"

Bahkan sampai dengan "Cewek bisa mimpi basah gak kak?"